Jumat, 11 Maret 2011

Ancaman bahaya Pestisida


Tanpa disadari, kita semua terpapar dengan pestisida yang berkelanjutan. Makanan yang kita makan, terutama buah dan sayuran segar, mengandung residu pestisida. The National Academy of Sciences (NAS) tahun 1987 mengeluarkan laporan tentang pestisida dalam makanan. Menurut data penelitian, resiko potensial yang disebabkan oleh pestisida dalam makanan kita yang dapat menyebabkan kanker. Di Amerika, lebih dari sejuta kasus kanker meningkat setiap tahunnya . Sekitar 30 macam pestisida karsinogen terdapat dalam makanan kita, dan selama ini belum ada penelitian menyebutkan potensi pemaparan pestisida karsinogen dalam air minum. 

Jenis Pestisida dan potensi bahaya bagi kesehatan manusia


No.
Jenis Pestisida
Jenis Penggunaan
Potensi Bahaya pada kesehatan manusia
1.
Asefat
Insektisida
Kanker, mutasi gen, kelainan alat reproduksi
2.
Aldikard
Insektisida
Sangat beracun pada dosis rendah
3.
BHC
Insektisida
Kanker, beracun pada alat reproduksi
4.
Kaptan
Insektisida
Kanker, mutasi gen
5.
Karbiral
Insektisida
Mutasi gen, kerusakan ginjal
6.
Klorobensilat
Insektisida
Kanker, mutasi gen, keracunan alat reproduksi
7.
Klorotalonis
Fungisida
Kanker, keracunan alat reproduksi
8.
Klorprofam
Herbisida
Kanker, mutasi gen, pengaruh kronis
9.
Siheksatin
Insektisida
Karsinogen
10.
DDT
Insektisida
Cacat lahir, pengaruh kronis
 Sumber : Pesticide Action Network (PAN) Indonesia

Penelitian terbaru mengenai bahaya pestisida terhadap keselamatan nyawa dan kesehatan manusia sangat mencengangkan. WHO (World Health Organization) dan Program Lingkungan PBB memperkirakan ada 3 juta orang yang bekerja pada sektor pertanian di negara-negara berkembang terkena racun pestisida dan sekitar 18.000 orang diantaranya meninggal setiap tahunnya (Miller, 2004). Di Cina diperkirakan setiap tahunnya ada setengah juta orang keracunan pestisida dan 500 orang diantaranya meninggal (Lawrence, 2007). Beberapa pestisida bersifat karsinogenik yang dapat memicu terjadinya kanker.

Berdasarkan penelitian terbaru dalam Environmental Health Perspctive menemukan adanya kaitan kuat antara pencemaran DDT pada masa muda dengan menderita kanker payudara pada masa tuanya (Barbara and Mary, 2007). Menurut NRDC (Natural Resources Defense Council) tahun 1998, hasil penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan penderita kanker otak, leukemia dan cacat pada anak-anak awalnya disebabkan tercemar pestisida kimia. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Harvard School of Public Health di Boston, menemukan bahwa resiko terkena penyakit parkinson meningkat sampai 70% pada orang yang terekspose pestisida meski dalam konsentrasi sangat rendah (Ascherio et al., 2006).

Badan yang bekerja sebagai pemantau atas pestisida untuk melindungi konsumen (FDA/The foot and Drug Administration), menyatakan lebih dari 110 pestisida yang berbeda terdeteksi terdapat dalam semua makanan antara tahun 1982-1985. Dari 25 pestisida yang terdeteksi lebih sering, 9  diantaranya telah diidentifikasi oleh FDA sebagai penyebab kanker, disamping terdapat juga potensi bahaya lainnya. Pada musim panas 1985, hampir 1000 orang dibeberapa negara bagian Wilayah Barat dan Kanada keracunan oleh residu pestisida Temik dalam semangka. Dalam 2-4 jam setelah memakan semangka yang tercemar, orang akan mengalami rasa mual, muntah, pandangan buram, otot lemah dan gejala lain. (Masih untung), tidak ada yang meninggal, biarpun kebanyakan korban dalam kondisi parah. Masih ditempat yang sama laporan juga menyebutkan adanya serangan gangguan hebat, jantung tak teratur, sejumlah orang dirumah-sakitkan, dan paling kurang 2 bayi lahir mati. Tahun 1986, kira-kira 140 kandang sapi perah di Arkansas, Oklahoma dan Missouri dikarantina karena tercemar oleh pestisida terlarang heptaklor.

WHO (World Health Organisation)memperkirakan bahwa setengah juta kasus keracunan pestisida muncul setiap tahunnya, 5000 orang diantaranya berakhir dengan kematian. Pada akhir tahun 1980 dilaporkan bahwa jumlah keracunan pestisida di dunia dapat mencapai satu juta kasus dengan 20.000 kematian per tahun. Menurut data WHO (World Health Organization) juga, penggunaan pestisida semakin lama semakin tinggi, terutama di negara-negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Latin. Tetapi, negara-negara berkembang ini hanya menggunakan 25% dari total penggunaan pestisida di seluruh dunia. Yang mengejutkan adalah, walaupun negara-negara berkembang ini hanya menggunakan 25% saja dari pestisida di seluruh dunia (world-wide), tetapi dalam hal kematian akibat pestisida, 99% dialami oleh negara-negara di wilayah tersebut. Mengapa? Menurut WHO, hal ini disebabkan rendahnya tingkat edukasi petani-petani di negara-negara tersebut sehingga cara penggunaannya sangat tidak aman dan cenderung “ngawur”.

Dr. Nani Djuangsih dalam penelitiannya tahun 1987 di beberapa desa di Jawa Barat menemukan residu DDT dalam Asi sebanyak 11,1 ppd didaerah Lembang. Demikian pula penelitian muthahir yang dilakukan Dr. Theresia membuktikan masih ditemukan turunan DDT sebanyak 0,2736 ppm dalam ASI di daerah Pengalengan.

Dampak secara tidak langsung dirasakan oleh manusia, oleh adanya penumpukan pestisida di dalam darah yang berbentuk gangguan metabolisme enzim asetilkolinesterase (AChE), bersifat karsinogenik yang dapat merangsang sistem syaraf menyebabkan parestesia peka terhadap perangsangan, iritabilitas, tremor, terganggunya keseimbangan dan kejang-kejang (Frank C. Lu, 1995). Hasil uji Cholinesterase darah dengan Tintyometer Kit yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur terhadap tenaga pengguna pestisida pada tahun 1999 dari 86 petani yang diperiksa 61,63 % keracunan dan 2000 sebanyak 34,38 % keracunan dari lokasi yang berbeda. Sulistiyono (2002), pada petani Bawang Merah di tiga kecamatan di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur, ditemukan petani yang terpapar pestisida kategori berat 5 orang dan ringan 83 kasus dari 192 responden

Pestisida dan keseimbangan ekologi

Pestisida adalah suatu bahan kimia yang digunakan oleh para petani untuk menjaga tanamannya dari serangan hama. Dengan menggunakan pestisida semua tanaman para petani akan terhindar dari segala macam hama. Sehingga apabila tanaman petani tersebut terhindar dari serangan hama, maka tanaman petani akan bagus dan akan menghasilkan hasil yang banyak dan akan terus meningkat. Oleh karena itu apabila hasil pertanian meningkat otomatis kehidupan para petani akan sejahtera. Tetapi dibalik semua itu penggunaan pestisida sangat berdampak buruk bagi lingkungan sekitar kita. Pestisida dapat merusak makhluk hidup yang ada di air yaitu dengan cara apabila petani menggunakan pestisida di daerah persawahan maka titik-titik air yang ada pada pestisida akan mengalir ke sungai dan dapat meracuni ikan-ikan yang ada di sungai. Selain itu pestisida dapat menyuburkan ganggang yang ada di sungai. Apabila ganggang yang ada di sungai menjadi subur maka cahaya matahari akan sulit masuk ke dalam sungai. Ini dapat menyebabkan makhluk hidup yang ada di air tidak mendapat cahaya. Contohnya fitoplankton, apabila fitoplankton tidak mendapatkan cahaya maka tidak akan bisa berfotosintesis dan tidak dapat lagi menghasilkan makanan untuk hewan-hewan yang ada di dalam air.

Dinamika pestisida di lingkungan yang membentuk suatu siklus, terutama jenis pestisida yang peresisten. Penggunaan pestisida oleh petani dapat tersebar di lingkungan sekitarnya; air permukaan, air tanah, tanah dan tanaman. Sifat mobile yang dimiliki akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme non sasaran, kualitas air, kualitas tanah dan udara.

Kondisi tanah di Lembang dan Pengalengan Jawa Barat berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Theresia (1993) sudah tercemar pestisida. Di daerah Lembang, contoh tanah yang diambil dari sekitar ladang tomat, kubis, buncis dan wortel, mengandung residu organoklorin yang cukup tinggi. Penggunaan pestisida dan tertinggalnya residu dapat sangat menurunkan populasi hewan tanah.

Dibandingkan dengan besarnya kandungan residu pestisida dalam tanah, kandungan pestisida dalam air memang lebih rendah. Meskipun demikian hasil penelitian membuktikan bahwa telah terjadi pencemaran di lingkungan perairan akibat pestisida. Contohnya ialah kematian 13 orang di Aceh Utara akibat mengkonsumsi tiram (Ostrea culcullata) yang tercemar pestisida. Pencemaran itu menurut Kompas 10 Mei 1993 berasal dari tambak udang yang menggunakan Brestan untuk membunuh siput dan hama yang memakan benur.

Lingkungan perairan yang tercemar menyebabkan satwa yang hidup di dalam dan sekitarnya turut tercemar. Ini dapat dibuktikan dari penelitian Dr. Therestia tahun 1993, ia menemukan kandungan Organoklorin dalam tubuh ikan sebanyak 0,0792 ppm di Lembang dan 0,020 ppm di Pengalengan. Selain itu terdapat residu organofosfat sebesar 0,0004-1,1450 ppm di wilayah tersebut.

BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) tahun 1982 sudah melaporkan bahwa ikan, udang dan kepiting di Delta Cimanuk Jawa Barat tercemar oleh derivat DDT. Air dan Lumpur tanah liat pun tercemar dengan Diazinon dan Thiodan. Penelitian yang lebih intensif, dilakukan oleh Proyek Penelitian Pengembangan Sumberdaya Air dan Pencemaran Perairan Air Tawar menemukan bahwa semua badan air tawar yang diteliti di Jawa Barat mengandung pestisida dengan jumlah berkisar 0,1-6,0 ppm dari 4 jenis Organofosfat dan 1 karbamat yang dianalisis, dan badan-badan air tawar di bagian Indonesia lainnya, seperti di Sumatera, Sulawesi dan Bali hampir tercemar seluruhnya

Peranan pestisida dalam sistem pertanian sudah menjadi dilema yang sangat menarik untuk dikaji. Berpihak pada upaya pemenuhan kebutuhan produksi pangan sejalan dengan peningkatan perumbuhan penduduk Indonesia, maka pada konteks pemenuhan kuantitas produksi pertanian khususnya produk hortikultura pestisida sudah tidak dapat lagi dikesampingkan dalam sistem budidaya pertaniannya. Mengingat penciptaan social culture yang telah tercipta sedemikian rupa oleh pemerintah tahun 1980-an dengan subsidi biaya penggunaan pestisida dan pendewaan pestisida sebagai penyelamat produksi dan investasi petani. Hingga saat ini ketergantungan petani terhadap pestisida semakin tinggi untuk menghasilkan kuantitas dan cosmetic appearance product, hal ini disebabkan oleh kesimbangan ekologis yang sudah tidak sempurna (populasi hama tinggi musuh alami semakin punah).

Di pihak lain penggunaan pestisida membawa bencana yang sangat hebat terhadap kesehatan petani dan konsumen akibat mengkonsumsi produk hortikultura yang mengandung residu pestisida. Menurut WHO setiap setengah juta kasus pestisida terhadap manusia, 5000 diakhiri dengan kematian. Dampak lain yang tidak kalah pentingnya adalah timbulkan pencemaran air, tanah dan udara yang dapat mengganggu sistem kehidupan organisme lainnya di biosfer ini.

Menyadari besarnya bahaya penggunaan pestisida kimia, sehingga di beberapa negara maju, penjualan dan penggunaan pestisida diatur oleh pemerintah. Sebagai contoh pada tahun 1972 di Amerika Serikat dibentuk Environmental Protection Agency (EPA) yang bertanggung jawab atas regulasi pestisida (Willson, 1996). Akan tetapi dalam implementasinya penggunaan pestisida sulit untuk dikontrol, maka pada tahun 1979 Presiden Carter mendirikan Interagency Integrated Pest Management Coordinating Committe untuk memberi jaminan pengembangan dan penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) atau Integrated Pest Management (IPM). PHT merupakan sistem yang mendukung dalam pengambilan keputusan untuk memilih dan menggunakan taktik pengendalian hama, satu cara atau lebih yang dikoordinasi secara harmonis dalam satu strategi manajemen, dengan dasar analisa biaya dan keuntungan yang berpatokan pada kepentingan produsen, masyarakat dan lingkungan (Kogan, 1998).

Pada tahun 1978, mulai muncul dalam beberapa publikasi istilah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), akan tetapi secara formal baru diintroduksi tahun 985 ketika Kongres Amerika Serikat membuat undang-undang tentang aksi keamanan pangan (Food Security Act) yang dimulai dengan program ‘Low Input Sustainable Agriculture’ (LISA) untuk membantu para petani menggunakan sumberdaya alam secara efesien, melindungi lingkungan dan memelihara komunitas pedesaan (McIsaac, 1994).  PHT menurut Kogan (1999) merupakan model yang paling efektif untuk menjamin program pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), akan tetapi pada kenyataannya pembiayaan pada program PHT terus menurun di seluruh dunia. Justeru sebaliknya muncul beberapa kritikan terhadap implementasi PHT di lapangan diantaranya adalah: (1) tidak berbasis aspek ekologi, karena penggunaan pestisida yang masih ditolerir oleh PHT tidak kompatibel dengan pengendalian biologi seperti pemanfaatan predator dan parasitoid; (2) berbasis pestisida; karena dalam pelaksanaannya para pengguna sering mendahulukan penggunaan pestisida dibandingkan dengan teknologi yang lainnya, dan pelatihan-pelatihan PHT lebih didominasi oleh tata cara aplikasi pestisida yang aman, dan (3) tidak interdisiplin ilmu, karena hasil review Jacobsen (1997) terhadap literatur tentang PHT dari tahun 1970 sampai 1995 ditemukan 683 artikel penelitian entomologi dan hanya 97 artikel penelitian patologi tanaman. Lebih jauh Gray (1995) melaporkan bahwan 70% dari kordinator PHT adalah entomologis, dan hanya 9% yang terindentifikasi sebagai ahli gulma atau agronomis.

Dengan adanya dampak buruk pada pestisida, para petani lebih dianjurkan menggunakan sistem organik yang tidak mengandung bahan kimia. Tetapi dengan menggunakan sistem organik pertanian sangat rentan terserang hama. Tetapi hasil pertanian jauh lebih sehat dibanding menggunakan pestisida. Oleh karena itu para petani diharapkan menggunakan sistem pertanian organik dan tidak terlalu banyak menggunakan pestisida. Karena sistem pertanian organik sangat bermafaat dan tidak membahayakan kesehatan dan lingkungan.

Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar